Hari Biasa
Hari itu hari
Kamis. Aku menjalani hari-hari sekolahku di SMA tempatku belajar seperti biasa.
Aku belajar, istirahat, makan, kembali belajar, istirahat lagi, beribadah yang
kemudian dilanjut dengan makan, belajar, dan akhirnya pulang ke rumah. Tidak
ada hal istimewa yang terjadi selama aku berada di sekolah waktu itu, namun,
tanpa alasan yang aku sendiri mengerti, aku merasa kepalaku sangat berat, aku
merasa begitu mengantuk. Setelah semua aktivitas sekolah itu, aku merasa sangat
kelelahan sampai-sampai di tempat parkir yang tidak diisi begitu banyak motor,
aku lupa motorku yang mana. Akhirnya, aku pun ingat dan tanpa begitu
memedulikan kondisiku yang seperti itu, aku pun pulang sambil menahan beratnya
kelopak mataku.
Di
jalan pulang, kepalaku mulai kembali ringan, kantukku pun perlahan mulai hilang
dan semakin mudah untuk ditahan. Aku sudah tiga perempat jalan pulang sampai
akhirnya aku bertemu dengan jalanan yang bentuknya tidak karuan yang biasa
kulewati. Lokasi jalan itu berada tidak jauh dari rumahku. Jalanan itu dipenuhi
lubang akibat hujan, batu-batuan, dan tanah. Yang membuat jalanan itu berbahaya
adalah batu-batuannya. Tidak jarang aku melihat motor dengan lihainya harus
menghindari batu-batu di sana agar tidak terpeleset, dan tidak jarang juga aku
melihat motor yang akhirnya terpeleset karna batu-batuan itu. Aku akhirnya
menjadi khawatir dengan kondisiku yang seperti itu menghadapi jalanan off-road seperti itu. Namun, tanpa tahu
jalan alternatif, aku terpaksa melewati jalan itu dan akhirnya selamat sampai
rumah.
Di
rumah, kusegarkan kembali diriku dengan segelas air putih dingin, dan sama
seperti saat di sekolah, aku tidak melakukan banyak hal yang berbeda. Semua
terasa cepat, dan ketika malam tiba, selain karna memang mengantuk, aku yang
tidak biasa begadang tidur pukul sembilan agar dapat bangun pagi dan berangkat
sesegera mungkin seperti biasanya. Aku pun bangun pukul tiga pagi,
bersiap-siap, mengenakan seragam Jumatku, dan berangkat ke sekolah pukul lima
pagi dengan niatan untuk kembali tidur di kelas sebelum akhirnya kelas dimulai.
Sesampainya
di sekolah, sekitar pukul setengah enam pagi, aku merasakan ada sesuatu yang
aneh. Mungkin bukan hanya sekadar merasa aneh, namun keadaan pada saat itu
memang tidak seperti biasanya. Sekolah yang biasanya tengah dibersihkan oleh
OB, saat itu tidak ada satupun OB yang terlihat. Kelas yang seharusnya masih
dikunci dapat dengan mudahnya terbuka. Sakelar lampu pun tidak dapat kugunakan
untuk menyalakan lampu kelas itu. Namun, berhubung aku memang berniat untuk
kembali tidur, aku dapat dengan mudahnya menerima hal tersebut. Aku pun
berjalan ke meja belajarku, melepaskan tas, mencari posisi yang nyaman, dan
akhirnya tertidur.
Setelah
tidak tahu berapa lama, aku mendengar suara memanggilku. Dalam tidurku, aku
beranggapan bahwa mungkin memang sudah saatnya bangun karna kelas akan segera
dimulai. Namun, mataku yang masih berat akibat mengantuk bersikeras untuk tetap
tertutup dan membiarkanku terus tidur. Akhirnya, suara itu menjadi semakin
kencang dan mengganggu tidurku. Aku pun mulai membuka mataku. Aku mengira akan
melihat wajah salah satu temanku, siapapun itu, namun yang kulihat adalah
beberapa sosok pria dewasa yang terlihat khawatir akan sesuatu. Aku yang masih
setengah sadar merasa kebingungan. Posisi tidurku yang tadinya adalah duduk di
meja menjadi telentang di atas trotoar tempat banyak toko-toko kecil didirikan.
Aku perlahan sadar dan melihat baju yang kupakai adalah seragam batik, seragam
untuk hari Kamis di sekolahku.
“Namanya
siapa, dek?” tanya salah satu
pria-pria tadi padaku.
Aku
sebutkan namaku sambil kebingungan atas dasar apa ia menanyakan hal itu padaku.
Dia lanjutkan pertanyaan itu.
“Rumahnya
di mana, dek?”
Aku
sontak terkejut kebingungan dan menanyakan hal yang sama pada diriku sendiri, “Rumah
gue di mana?”
Belum lama, sebelum hal ini terjadi, aku pindah dari rumah lamaku ke rumah baruku yang letaknya memang tidak begitu jauh satu sama lain. Rumah tempatku mengambil segelas air minum dingin dan akhirnya tertidur hingga Jumat pagi adalah rumah lamaku, karena ini aku jadi sangat kebingungan. Dengan pertanyaan itu, aku jadi paham kenapa pria itu menanyakan namaku. Dia memastikan bahwa aku tidak kehilangan ingatanku. Akhirnya, aku pun menyadari sepenuhnya bahwa aku baru saja pingsan akibat kecelakaan.
Setelah
mereka rawat sebentar dengan mengambilkanku minum dan membersihkan lukaku,
dengan motorku dan satu motor milik salah satu dari orang-orang tersebut, aku
diantarkan ke rumahku dengan arahan seadanya dari diriku yang pada saat itu
masih tidak yakin dengan lokasi rumahku. Namun, akhirnya aku sampai di rumah
dan disambut oleh ayahku yang kubuat khawatir dengan kondisiku yang seperti
itu. Aku segera duduk di ruang tamu kelelahan, sementara ayahku berterima kasih
kepada dua orang yang mengantarku pulang.
Tak
lama setelah aku duduk, ayahku memutuskan untuk membawaku ke tempat praktik
dokter paling dekat dari rumah. Tidak ada luka yang begitu parah, selain luka
biasa di bagian bibir sampai dagu. Luka di bibir itu bentuknya tidak jauh beda
dengan luka yang orang-orang dapat ketika lutut mereka bergesekan dengan aspal
jalanan. Tapi, yang dokter itu tidak sadari ketika sedang memeriksaku adalah
adanya semacam dislokasi, atau pergeseran, atau entah apa namanya, di rahang
kiriku yang membuatku merasa sakit tiap kali kubuka mulut terlalu lebar.
Sekarang, meski sakitnya sudah hilang, jika kubuka mulut agak lebar, untuk
menguap misalkan, rahangku pasti menghasilkan suara seperti suara yang
dihasilkan saat seseorang membunyikan sendi-sendi jari-jemarinya.
Komentar
Posting Komentar