reWRITE [Part 7]
“’Kematian harus dibayar dengan kematian
lainnya’, iya, kan? Aku rela mati demi kebahagiaanmu.”
“Tidak! Tidak,
aku-... aku tidak mungkin bahagia tanpamu!”
“Kau berhasil
memutar waktu hanya untuk ini, kan? Dan jika memang akulah bayarannya, aku akan
menerimanya. Karna aku sayang kamu, Winar.”
Winar sangat
tidak sanggup melihat kepergian calon istrinya yang ia sayangi itu. Di saat
Winar mencoba menahan air matanya yang mengalir deras di pipinya, wanita itu
berkata kepada Winar, “Berjanjilah padaku, Winar. Jagalah ibumu baik-baik.
Karna itu yang menjadi alasanmu untuk memulai ini semua. Dan jangan sesali
kepergianku. Ya?” Senyumnya.
“Ja- janji! Aku
berjanji padamu, Fahya!” Dengan begitu, denyut jantung Fahya mendadak terhenti.
Untuk sesaat, detak jantung Winar pun ikut terhenti, namun kemudian meledak
jadi tangis.
Dua tahun
kemudian, Winar menikahi seorang perempuan yang pernah menjabat sebagai agen
pemerintah. Kemudian memiliki anak di umur pernikahannya yang ke-15 bulan. Lama
kemudian, Winar mendapatkan seorang cucu dari anak tunggalnya itu. Dan
sekarang, sama seperti Winar, cucunya harus memilih antara dua pilihan, yakni
untuk kehilangan temannya yang berharga atau membiarkan teman berharganya
kehilangan teman yang berharga pula baginya. Untuk menerima pilihan yang bukan
haknya atau menjadi egois dan memilih untuk dirinya sendiri.
“Kamu yang harus
milih, Guntur.” Winar menyerahkan sebuah kotak hitam berukuran panjang dua kali
telapak tangan manusia kepada Guntur. “Sesulit apapun pilihannya, sepahit
apapun hasilnya, karna kamu udah ngelakuin semua ini, gak ada cara lain. Kamu
harus pilih salah satu.” Dengan perasaan ragu Guntur membalas perkataan Winar,
“Iya, Kek.”
Kepala Guntur
pun dipenuhi berjuta hal yang mengganggunya setelah ia mengangkat kakinya dari
kediaman kakeknya. Di pikirannya dia telah merencanakan kalau ini adalah kali
terakhir dia akan memutar waktu. Dan demi kesuksesan rencananya demi
menyelamatkan temannya, dia harus pura-pura tidak ingat apa-apa. Lebih lagi,
dia harus berpura-pura tidak tahu apa-apa. Jika ia berlaku seperti penjelajah
waktu yang tahu apa-apa saja yang akan terjadi di masa depan, dia takut itu
akan merusak garis waktu dan mengacaukan semuanya.
Beberapa hari
lalu di sekolah ketika Melati menghampirinya menawarkan tiket konser padanya,
dia berusaha agar tidak terlihat mencurigakan di mata Melati. Dia telah
menghafal reaksi-reaksinya sendiri sebelum dia memutar waktu hanya agar Melati
tidak curiga. Tapi setelah itu, dia tidak menduga kalau Andini akan
menghampirinya juga dan memanggil namanya dari belakang, “Hem! Gun! Guntur!”
Andini meneriaki namanya. Guntur ragu akan jawabannya. Sambil ia menoleh
perlahan ia memikirkan balasan yang harus ia keluarkan.
Akhirnya, dia pun
memilih untuk tetap melanjutkan rencananya dan berpura-pura tidak mengenali
Andini. “Ha? Kenapa?” adalah bentuk jawaban yang Guntur pilih untuk membalas
panggilan Andini. Guntur telah membuat Andini khawatir dan dia menyadarinya.
Andini yang tegar itu tak bisa apa-apa sendiri, pikirnya. Obrolan singkat itu
berakhir dengan Guntur kembali melangkah menjauh dari Andini. Dan di dalam
pikirannya, Guntur meminta maaf pada Andini dan berjanji untuk mengurus
semuanya.
Setelah kejadian
itu, Guntur kembali dikejutkan dengan kedatangan Andini ke rumahnya. Karena
penggunaan ReWrite dan ReWrite v2.0 yang bersamaan oleh Guntur, dia tidak
terlalu ingat kejadian di garis waktu lain dan tidak terlalu mengingat tentang
Andini. Tapi dia merasa senang Andini mengunjungi rumahnya meskipun dia harus
berakting di depannya. Ayah Guntur yang sedang mengambil cutinya membukakan
Andini pintu dan mengizinkannya masuk.
“Guntur!”
Ayahnya memanggilnya dengan suara yang menggelegar. “Jangan biarkan seorang
wanita menunggu! Cepat turun!”
“Ayah bodoh!
Jangan sok puitis!” Dari atas tangga Guntur melompat dan mendaratkan kakinya di
wajah ayahnya.
“Anak kurang
ajar!” Perut Guntur pun dipukuli oleh ayahnya bertubi-tubi sampai akhirnya
Guntur tergeletak di lantai. “Masih terlalu cepat 10 tahun buat nantang ayah,
Gun! Dah ah. Ayah mau masak dulu. Kamu urusin tuh selingkuhanmu!” Andini yang
duduk di sofa tak jauh dari mereka berdua pun mendengarnya dan wajahnya
memerah.
“Ah! Udah! Ke
dapur sana, gih!” Guntur kembali berdiri dengan kedua kakinya dan menendang
bokong ayahnya.
“Iya, iya!”
Guntur
menenangkan dirinya dan menghampiri Andini di ruang tamu dan duduk di sofa yang
bersebrangan dengan Andini. Guntur menyadari raut wajah Andini yang cemas.
Guntur pun tahu atas dasar alasan apa Andini repot-repot mendatangi
kediamannya. Tidak perlu lagi dia harus kaget mendengar perkataan yang akan
keluar dari mulut Andini. Andini beranggapan kalau Guntur tidak mengingat
kejadian apapun dari sebelum mereka memutar waktu. Dan dia datang ke sini untuk
meyakinkan Guntur bahwa semua hal itu pernah terjadi.
“Jadi?” Guntur
mengawali pembicaraan setelah kerusuhan yang dimulainya tadi.
“Kamu mungkin
gak bakal percaya, tapi... kita berdua datang dari masa depan.” Guntur agak bingung
dengan bagaimana dia harus merespon pernyataan itu. Haruskah dia pura-pura
terkejut atau haruskah dia pura-pura tidak peduli?
“Terus?” Jawab
Guntur dingin kepada Andini. Dia menyadari kalau itu bukan bentuk balasan yang
tepat. Namun, untuk sementara ini, dia akan terus berlaku begitu.
“Ka- kamu... gak
percaya, ya?”
“Tergantung. Lu
bisa bikin gue percaya apa gak?” Apanya? Guntur merasa dirinya sedang menjahili
Andini. Meskipun ini semua karena tidak ada cara lain.
“Aku gak- gak
tau.” jawab Andini ragu. Melihat Andini menundukkan kepalanya, Guntur merasa
kasihan terhadapnya. Tapi, Guntur tidak dapat memperlihatkan rasa kasihan itu
ke Andini jika ia mau rencananya sukses, begitu pikirnya.
“Udah? Itu aja?”
Guntur membalas jawaban Andini begitu dinginnya sampai Andini pun tak tahu lagi
harus berbicara apa. Guntur pun tak bisa lama-lama berakting di depan Andini,
jadi ia putuskan untuk mengusir Andini dari rumahnya. “Kalo gak ada yang perlu
diomongin lagi, mendingan lu pulang sekarang.”
“Ta- tapi-“
Andini ingin mencoba mengatakan sesuatu yang mungkin akan membantunya untuk
membuat Guntur percaya padanya. Tapi seketika, Andini terhenti karna masih tak
tahu bagaimana cara melakukannya. Guntur yang sudah tak dapat menahan rasa
simpatinya mendorong Andini keluar secara paksa. “A- ah! Tu- tung-“
“Udah, udah ah.
Gue udah paham dah.” Guntur berhenti mendorong Andini ketika sudah di depan
pintu rumahnya.
“Hah? Yang
bener!?”
“Iya.” Guntur
memasang senyum.
“Syukurlah!!”
Andini menghela napasnya sementara Guntur mengangguk senyum dan melanjutkan
kalimatnya, kalimat yang akan sangat menyakiti Andini.
“Iya. Gue paham
kalo lu udah boong.”
“HAH!?” Guntur
menjawab ekspresi jengkel itu dengan tatapan dingin ke mata Andini. Andini pun
akhirnya kesal. Andini tak lama kemudian menyerah dan pergi dari rumah Guntur.
Guntur sangat menyesali perkataannya pada Andini dan terpaku di depan pintu
rumahnya. Sampai ayahnya datang menghampirinya dan memukul kepalanya dengan
panci.
“ADUH!! AYAH
APAAN SIH!?”
“Gak gitu
caranya ngurusin selingkuhan.”
“SELINGKUH DARI
SIAPA, HAH!?”
“Ya...”
“Cih! Guntur gak
pernah pacaran.” Mendadak ayah Guntur jongkok dan meringis. “GAK USAH SOK
SEDIH!” Bentak Guntur ke ayahnya.
“Gimana gak sedih
sih. Aduh, ayahmu ini lulusan S2 psikologi. Membaca pikiranmu itu mudah.
Apalagi ngeliat raut mukamu pas ngomong sama selingkuhanmu itu tadi. Kamu suka
sama dia, kan?” Guntur kemudian agak terkejut dan agak melangkah mundur akibat
ketidakyakinannya. Ayahnya membaca reaksi ini lalu tersenyum.
“A- AAH!!
Apanya!? Kenal aja kaga!” Guntur membuang mukanya yang memerah bagaikan daging buah
semangka yang baru matang. “Ta- tapi... dia suka gua juga, gak, ya?” Bisiknya.
“Ah, itu tadi gak
keliatan.”
“Hah!? Het!
Denger aja si!”
“Gun, ayah juga
masih agak bingung sama apa yang selingkuhanmu omongin tadi.”
“Ah, ayah gak
usah paksa-paksain ngerti juga deh.”
“Iya, iya, ah!
Tapi, apapun itu, dia serius.” Guntur kembali dibuat terpaku oleh ayahnya
sendiri. “Jadi, ayah saranin kamu ikut apa katanya aja deh.” Ayahnya
menyelesaikan obrolannya dan kembali ke dapur. Guntur dikejutkan oleh kehebatan
ayahnya. Meskipun, dia sendiri sudah tahu kalau semua yang dikatakan Andini
adalah benar. Suasana hening di ruang tamu itu dihancurkan oleh ayah Guntur
yang bertanya kepada Guntur, “Jadi, mau dimasakin apa hari ini?”
“DARI TADI DI
DAPUR NGAPAIN, HAH!? ORANG TUA DURHAKA!”
Hari yang
menjadi hari penentuan bagi Guntur pun tiba. Dia bersiap mengenakan pakaian
serba putih agar kecurigaan yang melihatnya berkurang. Tak lupa, ia juga membawa
isi dari kotak hitam pemberian kakeknya di dalam jaketnya. Kemudian ia
berangkat menuju lokasi kejadian di mana Melati akan tertabrak oleh sebuah
truk. Guntur pun akhirnya sampai ke lokasi target. Ia menjaga jarak dengan
Andini dan Melati dan menelpon Melati dari lokasinya sekarang. Semuanya sesuai
rencana. Sekarang, Melati akan melangkah maju dengan sengaja menghampiri datangnya
truk pembunuh itu, sementara Andini akan diam berdiri. Sejenak, dunia di
sekitar Guntur pun berhenti di kepalanya dan dia menarik pistol pemberian
kakeknya yang telah dipasangi peredam dari dalam jaketnya. Jika Guntur ingin
menyelamatkan Melati, maka dia harus membunuh Andini dengan tangannya sendiri.
Jika tidak, dia tak perlu menarik pelatuk pistolnya. Tapi, Guntur terkejut
ketika Andini melompat menarik Melati kembali ke trotoar dan mengorbankan diri
untuk Melati.
“BODOH!” Teriak Guntur dalam hatinya.
Waktu tidak
banyak lagi, Guntur harus mengambil keputusan segera. Dan keadaan berbalik.
Jika ia ingin Melati selamat, ia tak perlu menarik pelatuknya. Namun, jika ia
ingin Andini selamat, maka ia harus membunuh Melati dengan peluru senjata mautnya.
“Gua ngelakuin semua
ini buat Melati. Ngulang ini berkali-kali demi nyelamatin nyawanya... Tapi, gua
juga gak mau kalo Andini sampe-...” Pikiran ini terhenti ketika truk itu sudah berjarak
30 sentimeter dari Andini dan-
*WUSSH*
Suara peluru
yang meluncur dari silinder peredam terdengar. Guntur memilih untuk menarik
pelatuk pistolnya. Dan peluru meluncur masuk menembus bagian depan kepala si
pengemudi truk. Truk itu berbelok tajam dan meleset jauh dari jalur awalnya.
Andini selamat, begitu juga dengan Melati. Mereka berdua tidak bisa mempercayai
apa yang sedang mereka saksikan. Truk itu terguling dan terbakar hebat. Guntur
bermandikan keringat dan memandangi tangannya yang sedang memegang senjata api
itu. Sejenak ia berfikir untuk melemparnya ke tanah, tapi, ia lebih memilih
untuk menghancurkannya nanti. Tapi, ia masih tak percaya kalau dia telah
membunuh seseorang dengan tangannya sendiri.
Selanjutnya >>
Selanjutnya >>
Komentar
Posting Komentar