reWRITE [Part 7]


“’Kematian harus dibayar dengan kematian lainnya’, iya, kan? Aku rela mati demi kebahagiaanmu.”
“Tidak! Tidak, aku-... aku tidak mungkin bahagia tanpamu!”
“Kau berhasil memutar waktu hanya untuk ini, kan? Dan jika memang akulah bayarannya, aku akan menerimanya. Karna aku sayang kamu, Winar.”

Winar sangat tidak sanggup melihat kepergian calon istrinya yang ia sayangi itu. Di saat Winar mencoba menahan air matanya yang mengalir deras di pipinya, wanita itu berkata kepada Winar, “Berjanjilah padaku, Winar. Jagalah ibumu baik-baik. Karna itu yang menjadi alasanmu untuk memulai ini semua. Dan jangan sesali kepergianku. Ya?” Senyumnya.

Senyum itu tak terbalaskan oleh Winar. Dengan perasaan sangat menyesal, dia harus kehilangan wanita yang akan menjadi mempelainya dalam waktu dekat sebagai pengganti nyawa ibunya. “Maafkan aku! Maafkan aku atas kebodohanku, Fahya!” Tangisan lelaki itu begitu kencangnya sampai penghuni sekitar perlahan menghampiri lokasi mereka berdua. “Cengeng, kamu Winar!” Wanita berambut kriting itu mengejek calon suaminya. “Kalau sampai Jiran tahu, dia pasti akan menolakmu untuk menjadi kakak iparnya, kau tahu!” Fahya kemudian membalikkan lekuk bibirnya dan tersenyum. “Kalau aku terlahir kembali, pastikan aku bahagia. Janji?”

“Ja- janji! Aku berjanji padamu, Fahya!” Dengan begitu, denyut jantung Fahya mendadak terhenti. Untuk sesaat, detak jantung Winar pun ikut terhenti, namun kemudian meledak jadi tangis.

Dua tahun kemudian, Winar menikahi seorang perempuan yang pernah menjabat sebagai agen pemerintah. Kemudian memiliki anak di umur pernikahannya yang ke-15 bulan. Lama kemudian, Winar mendapatkan seorang cucu dari anak tunggalnya itu. Dan sekarang, sama seperti Winar, cucunya harus memilih antara dua pilihan, yakni untuk kehilangan temannya yang berharga atau membiarkan teman berharganya kehilangan teman yang berharga pula baginya. Untuk menerima pilihan yang bukan haknya atau menjadi egois dan memilih untuk dirinya sendiri.

“Kamu yang harus milih, Guntur.” Winar menyerahkan sebuah kotak hitam berukuran panjang dua kali telapak tangan manusia kepada Guntur. “Sesulit apapun pilihannya, sepahit apapun hasilnya, karna kamu udah ngelakuin semua ini, gak ada cara lain. Kamu harus pilih salah satu.” Dengan perasaan ragu Guntur membalas perkataan Winar, “Iya, Kek.”

Kepala Guntur pun dipenuhi berjuta hal yang mengganggunya setelah ia mengangkat kakinya dari kediaman kakeknya. Di pikirannya dia telah merencanakan kalau ini adalah kali terakhir dia akan memutar waktu. Dan demi kesuksesan rencananya demi menyelamatkan temannya, dia harus pura-pura tidak ingat apa-apa. Lebih lagi, dia harus berpura-pura tidak tahu apa-apa. Jika ia berlaku seperti penjelajah waktu yang tahu apa-apa saja yang akan terjadi di masa depan, dia takut itu akan merusak garis waktu dan mengacaukan semuanya.

Beberapa hari lalu di sekolah ketika Melati menghampirinya menawarkan tiket konser padanya, dia berusaha agar tidak terlihat mencurigakan di mata Melati. Dia telah menghafal reaksi-reaksinya sendiri sebelum dia memutar waktu hanya agar Melati tidak curiga. Tapi setelah itu, dia tidak menduga kalau Andini akan menghampirinya juga dan memanggil namanya dari belakang, “Hem! Gun! Guntur!” Andini meneriaki namanya. Guntur ragu akan jawabannya. Sambil ia menoleh perlahan ia memikirkan balasan yang harus ia keluarkan.

Akhirnya, dia pun memilih untuk tetap melanjutkan rencananya dan berpura-pura tidak mengenali Andini. “Ha? Kenapa?” adalah bentuk jawaban yang Guntur pilih untuk membalas panggilan Andini. Guntur telah membuat Andini khawatir dan dia menyadarinya. Andini yang tegar itu tak bisa apa-apa sendiri, pikirnya. Obrolan singkat itu berakhir dengan Guntur kembali melangkah menjauh dari Andini. Dan di dalam pikirannya, Guntur meminta maaf pada Andini dan berjanji untuk mengurus semuanya.

Setelah kejadian itu, Guntur kembali dikejutkan dengan kedatangan Andini ke rumahnya. Karena penggunaan ReWrite dan ReWrite v2.0 yang bersamaan oleh Guntur, dia tidak terlalu ingat kejadian di garis waktu lain dan tidak terlalu mengingat tentang Andini. Tapi dia merasa senang Andini mengunjungi rumahnya meskipun dia harus berakting di depannya. Ayah Guntur yang sedang mengambil cutinya membukakan Andini pintu dan mengizinkannya masuk.

“Guntur!” Ayahnya memanggilnya dengan suara yang menggelegar. “Jangan biarkan seorang wanita menunggu! Cepat turun!”
“Ayah bodoh! Jangan sok puitis!” Dari atas tangga Guntur melompat dan mendaratkan kakinya di wajah ayahnya.
“Anak kurang ajar!” Perut Guntur pun dipukuli oleh ayahnya bertubi-tubi sampai akhirnya Guntur tergeletak di lantai. “Masih terlalu cepat 10 tahun buat nantang ayah, Gun! Dah ah. Ayah mau masak dulu. Kamu urusin tuh selingkuhanmu!” Andini yang duduk di sofa tak jauh dari mereka berdua pun mendengarnya dan wajahnya memerah.
“Ah! Udah! Ke dapur sana, gih!” Guntur kembali berdiri dengan kedua kakinya dan menendang bokong ayahnya.
“Iya, iya!”

Guntur menenangkan dirinya dan menghampiri Andini di ruang tamu dan duduk di sofa yang bersebrangan dengan Andini. Guntur menyadari raut wajah Andini yang cemas. Guntur pun tahu atas dasar alasan apa Andini repot-repot mendatangi kediamannya. Tidak perlu lagi dia harus kaget mendengar perkataan yang akan keluar dari mulut Andini. Andini beranggapan kalau Guntur tidak mengingat kejadian apapun dari sebelum mereka memutar waktu. Dan dia datang ke sini untuk meyakinkan Guntur bahwa semua hal itu pernah terjadi.

“Jadi?” Guntur mengawali pembicaraan setelah kerusuhan yang dimulainya tadi.
“Kamu mungkin gak bakal percaya, tapi... kita berdua datang dari masa depan.” Guntur agak bingung dengan bagaimana dia harus merespon pernyataan itu. Haruskah dia pura-pura terkejut atau haruskah dia pura-pura tidak peduli?
“Terus?” Jawab Guntur dingin kepada Andini. Dia menyadari kalau itu bukan bentuk balasan yang tepat. Namun, untuk sementara ini, dia akan terus berlaku begitu.
“Ka- kamu... gak percaya, ya?”
“Tergantung. Lu bisa bikin gue percaya apa gak?” Apanya? Guntur merasa dirinya sedang menjahili Andini. Meskipun ini semua karena tidak ada cara lain.
“Aku gak- gak tau.” jawab Andini ragu. Melihat Andini menundukkan kepalanya, Guntur merasa kasihan terhadapnya. Tapi, Guntur tidak dapat memperlihatkan rasa kasihan itu ke Andini jika ia mau rencananya sukses, begitu pikirnya.
“Udah? Itu aja?” Guntur membalas jawaban Andini begitu dinginnya sampai Andini pun tak tahu lagi harus berbicara apa. Guntur pun tak bisa lama-lama berakting di depan Andini, jadi ia putuskan untuk mengusir Andini dari rumahnya. “Kalo gak ada yang perlu diomongin lagi, mendingan lu pulang sekarang.”
“Ta- tapi-“ Andini ingin mencoba mengatakan sesuatu yang mungkin akan membantunya untuk membuat Guntur percaya padanya. Tapi seketika, Andini terhenti karna masih tak tahu bagaimana cara melakukannya. Guntur yang sudah tak dapat menahan rasa simpatinya mendorong Andini keluar secara paksa. “A- ah! Tu- tung-“
“Udah, udah ah. Gue udah paham dah.” Guntur berhenti mendorong Andini ketika sudah di depan pintu rumahnya.
“Hah? Yang bener!?”
“Iya.” Guntur memasang senyum.
“Syukurlah!!” Andini menghela napasnya sementara Guntur mengangguk senyum dan melanjutkan kalimatnya, kalimat yang akan sangat menyakiti Andini.
“Iya. Gue paham kalo lu udah boong.”
“HAH!?” Guntur menjawab ekspresi jengkel itu dengan tatapan dingin ke mata Andini. Andini pun akhirnya kesal. Andini tak lama kemudian menyerah dan pergi dari rumah Guntur. Guntur sangat menyesali perkataannya pada Andini dan terpaku di depan pintu rumahnya. Sampai ayahnya datang menghampirinya dan memukul kepalanya dengan panci.

“ADUH!! AYAH APAAN SIH!?”
“Gak gitu caranya ngurusin selingkuhan.”
“SELINGKUH DARI SIAPA, HAH!?”
“Ya...”
“Cih! Guntur gak pernah pacaran.” Mendadak ayah Guntur jongkok dan meringis. “GAK USAH SOK SEDIH!” Bentak Guntur ke ayahnya.
“Gimana gak sedih sih. Aduh, ayahmu ini lulusan S2 psikologi. Membaca pikiranmu itu mudah. Apalagi ngeliat raut mukamu pas ngomong sama selingkuhanmu itu tadi. Kamu suka sama dia, kan?” Guntur kemudian agak terkejut dan agak melangkah mundur akibat ketidakyakinannya. Ayahnya membaca reaksi ini lalu tersenyum.
“A- AAH!! Apanya!? Kenal aja kaga!” Guntur membuang mukanya yang memerah bagaikan daging buah semangka yang baru matang. “Ta- tapi... dia suka gua juga, gak, ya?” Bisiknya.
“Ah, itu tadi gak keliatan.”
“Hah!? Het! Denger aja si!”
“Gun, ayah juga masih agak bingung sama apa yang selingkuhanmu omongin tadi.”
“Ah, ayah gak usah paksa-paksain ngerti juga deh.”
“Iya, iya, ah! Tapi, apapun itu, dia serius.” Guntur kembali dibuat terpaku oleh ayahnya sendiri. “Jadi, ayah saranin kamu ikut apa katanya aja deh.” Ayahnya menyelesaikan obrolannya dan kembali ke dapur. Guntur dikejutkan oleh kehebatan ayahnya. Meskipun, dia sendiri sudah tahu kalau semua yang dikatakan Andini adalah benar. Suasana hening di ruang tamu itu dihancurkan oleh ayah Guntur yang bertanya kepada Guntur, “Jadi, mau dimasakin apa hari ini?”
“DARI TADI DI DAPUR NGAPAIN, HAH!? ORANG TUA DURHAKA!”

Hari yang menjadi hari penentuan bagi Guntur pun tiba. Dia bersiap mengenakan pakaian serba putih agar kecurigaan yang melihatnya berkurang. Tak lupa, ia juga membawa isi dari kotak hitam pemberian kakeknya di dalam jaketnya. Kemudian ia berangkat menuju lokasi kejadian di mana Melati akan tertabrak oleh sebuah truk. Guntur pun akhirnya sampai ke lokasi target. Ia menjaga jarak dengan Andini dan Melati dan menelpon Melati dari lokasinya sekarang. Semuanya sesuai rencana. Sekarang, Melati akan melangkah maju dengan sengaja menghampiri datangnya truk pembunuh itu, sementara Andini akan diam berdiri. Sejenak, dunia di sekitar Guntur pun berhenti di kepalanya dan dia menarik pistol pemberian kakeknya yang telah dipasangi peredam dari dalam jaketnya. Jika Guntur ingin menyelamatkan Melati, maka dia harus membunuh Andini dengan tangannya sendiri. Jika tidak, dia tak perlu menarik pelatuk pistolnya. Tapi, Guntur terkejut ketika Andini melompat menarik Melati kembali ke trotoar dan mengorbankan diri untuk Melati.

“BODOH!” Teriak Guntur dalam hatinya.

Waktu tidak banyak lagi, Guntur harus mengambil keputusan segera. Dan keadaan berbalik. Jika ia ingin Melati selamat, ia tak perlu menarik pelatuknya. Namun, jika ia ingin Andini selamat, maka ia harus membunuh Melati dengan peluru senjata mautnya.

“Gua ngelakuin semua ini buat Melati. Ngulang ini berkali-kali demi nyelamatin nyawanya... Tapi, gua juga gak mau kalo Andini sampe-...” Pikiran ini terhenti ketika truk itu sudah berjarak 30 sentimeter dari Andini dan-

*WUSSH*


Suara peluru yang meluncur dari silinder peredam terdengar. Guntur memilih untuk menarik pelatuk pistolnya. Dan peluru meluncur masuk menembus bagian depan kepala si pengemudi truk. Truk itu berbelok tajam dan meleset jauh dari jalur awalnya. Andini selamat, begitu juga dengan Melati. Mereka berdua tidak bisa mempercayai apa yang sedang mereka saksikan. Truk itu terguling dan terbakar hebat. Guntur bermandikan keringat dan memandangi tangannya yang sedang memegang senjata api itu. Sejenak ia berfikir untuk melemparnya ke tanah, tapi, ia lebih memilih untuk menghancurkannya nanti. Tapi, ia masih tak percaya kalau dia telah membunuh seseorang dengan tangannya sendiri.

Selanjutnya >>

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Telat #4: [Game] 育てて日本人形 / Sodatete Nihon Ningyo (Japanese Doll)

Review Telat #3: [Anime] Death Parade Eps. 12 [Finale]

Sekarang Hari Apa?!