reWRITE [Epilogue]

Epilogue

Guntur

[Pembunuh berantai incaran aparat kepolisian ditemukan dalam kondisi hangus terbakar dalam peristiwa meledaknya sebuah truk yang diduga-]

Begitu kata penyiar berita di tv. Gua udah ngelakuin sebuah kebajikan yang gak ada tandingannya. Nyelamatin kedua orang paling berharga buat gua dan nyelamatin korban masa depan si pembunuh berantai itu. Tapi, semua itu gak bisa ngehapus fakta kalo gua udah ngilangin nyawa seseorang yang bahkan gua gak kenal. Tangan ini udah kotor. Gua udah jadi pembunuh dan gak boleh ada yang sampe tau. Pistol yang gua ancurin ini adalah bukti. Sekecil apapun serpihan pistol ini jadinya nanti, meskipun orang lain gak bakal bisa ngebuktiin, gua tetep seorang pembunuh. Mental seorang pembunuh akan tertanam di kepala gua. Gua akan semakin ngeremehin nyawa-nyawa orang yang gak berarti buat gua. Dan, itulah hal yang gua takutin. Tapi, untuk sementara ini, gua bakal nikmatin kehidupan gua, meskipun gua bakal selalu dikelilingin rasa bersalah tiap kali gua liat sosok dua orang itu di depan mata gua.

Melati

“Tenang. Kali ini, aku yang traktir kalian berdua.”

Kalimat itu akan menjadi kalimat yang paling aku benci di seluruh dunia, bahkan sejagad. Aku tak habis pikir ketika dia menarikku kembali demi menyelamatkan nyawaku. Karna, aku melakukan semua ini untuk menghindari hilangnya orang yang kusayang dan menggantikannya dengan hidupku sendiri. Tapi, ya, sudah lah. Aku lega, karna akhirnya, dia tidak jadi mengorbankan nyawanya. Itu, hal itu lah yang sampai sekarang aku masih tidak mengerti. Bagaimana caranya itu semua terjadi? Truk itu tidak seharusnya mengubah jalurnya. Bukan berarti aku tidak senang telah terjadi demikian, tapi... ah! Seperti yang sudah kubilang, aku lega. Kali ini yang menjadi korban bukanlah seseorang yang berharga bagiku. Aku mungkin terdengar seperti orang jahat yang hanya peduli pada dirinya sendiri, tapi, kenyataanya begitulah manusia. Dan aku, juga manusia.

Andini

Gak bisa aku lupain betapa nakutinnya ketika sebuah truk yang massanya ton-an itu berada tepat satu meter dari batang hidungku. Dunia di sekelilingku seakan-akan berenti sejenak. Aku bisa ngeliat semua masa laluku. Kupikir itu saat-saat di mana aku bakal mati, karna orang-orang sering bilang begitu. Kamu bakal ngeliat flashback kehidupanmu di dunia ketika nyawamu ada di ambang batas. Dan ketika kuda beroda itu tiba-tiba belok, aku bener-bener gak bisa ngelakuin hal lain selain nangis kejer. Semua bagian tubuhku, semuanya gemeter seakan-akan badanku dilanda gempa berkekuatan 4 skala Ritcher. Tapi, aku senang, dia masih ada di belakangku waktu itu. Iya, dia marahin aku, tapi, gak lama abis itu, dia meluk aku dan nenangin aku. Konsernya? Masa bodo. Kami langsung pulang tanpa punya penjelasan tentang apa yang udah kejadian tadi. Tapi yang terpenting, aku bisa idup di antara dua orang yang paling aku anggep berharga.

***
10 Bulan Kemudian

“HAAAAH!? KAMU SERIUS!?” Suara melengking wanita berambut keriting itu sampai terdengar ke ruang guru yang letaknya 7 meter jauhnya dari tempat ia berteriak.
“Huuusssh!! Jangan berisik, ah!! Malu tau!” Balas wanita tomboy berambut wavy itu dengan menutup wajahnya, menyembunyikan wajahnya yang memerah dan memanas bagai gunung berapi yang siap meletus.
“Ta- tapi, tapi, tapi, tapi, tapi...”
“Kamu gak marah, kan?” Sambil wanita rambut bergelombang itu membuka sedikit tangannya yang menghalangi pandangan matanya ke arah wanita rambut keriting, temannya itu.
“Ma- marah? Ya, ya... bagaimana, ya?” Wanita kecil itu menggoda temannya yang memang pada dasarnya pemalu itu.
“Aaah!! Kamu marah, kan!? Aaah!! Harusnya aku gak perlu ngaku pas kamu tanya itu!!” Kedua tangannya yang tak cukup menutupi wajah memerahnya itu pun digantikannya dengan rambut hitam panjang bergelombang kebanggaanya.
“Haha ya, ampun, Dini! Aku bercanda! Tidak mungkin lah aku marah ke kamu cuma karena kita menyukai lelaki yang sama. Hahaha” Ujar wanita yang dikuncir rambutnya itu ke temannya yang sedang malu itu dengan nada bercanda.
“Iiih! Jahat! Melati jahat!” Rambutnya yang masih belum cukup menutupi wajah malunya digantikan dengan sebuah buku paket yang ada di dekatnya.
“Hahaha iya~ maaf, deh. Tapi, kenapa kamu tidak bilang dari dulu saja kalau kamu suka Guntur juga?” Sambil ia mencoba mengintip wajah Andini yang ia tutupi dengan buku.
“Mmmm... aku takut kamu marah, aku juga gak enak sama kamu yang lebih deket sama Guntur ketimbang aku.” Buku itu ia angkat sendiri pelan-pelan. “Aku gak punya kesempatan lah, kalo lawannya Melati.” Buku itu ia jadikan perisai lagi.
“Kamu itu terlalu pesimis, ah, Din. Kalau dilihat-lihat lagi, kan, kamu lebih tinggi, badanmu lebih seksi, dan wajahmu lebih cantik dibanding aku.” Wanita kecil itu kembali menggoda temannya.
“Ah! Ngarang kamu!” Sejenak ia angkat buku itu dan membalas pujian Melati kemudian kembali ke posisi awalnya. “Tapi, makasih, Mel.”
“Hahahaha kamu, tuh, hanya badanmu yang tinggi. Tapi, kamu super lucu!” Temannya yang berperisaikan buku itu ia cubit kedua pipinya dan ia angkat tinggi-tinggi wajahnya.
“Duh, duh, duh! Mel! Sakit!”
“Kamu, sih! Gemesin!”
“Harusnya yang kecil yang gemesin, tau!”
“Maka dari itu! Hahaha”

Lalu dari kejauhan, di depan pintu kelas di mana kedua putri itu sedang bercanda-canda, sang pangeran datang dengan tatapan dinginnya menghampiri kedua putri.

“Tumben, kalian gak lagi di kantin jam segini. Lagi meeting penting banget, ya?”
“Mau tauuuu~ aja!” Ledek Sang Putri Kecil ke Sang Pangeran.
“Gua baru tau, lu bisa make bahasa kaya gitu, Mel.” Sang Pangeran mengutarakan keheranan sekaligus rasa bangganya kepada Sang Putri Kecil.
“Iya, dong! Harus ada peningkatan tiap harinya, ya, kan?”
“Iya, iya~ terus lu ngapain, Din, mukalu pake ditutup buku begitu segala?” Kali ini, Sang Pangeran mengutarakan keheranannya terhadap Sang Putri Tomboy.
“Eng- enggak!” Sang Putri Tomboy menyembunyikan wajahnya dari Sang Pangeran. Sang Pangeran semakin keheranan. Di saat yang bersamaan, Sang Putri Kecil memikirkan sebuah rencana licik, terlihat jelas dari raut wajahnya. Kemudian, ia bertanya.
“Guntur!” Sang Putri kecil memanggil Sang Pangeran. Sang Putri Tomboy merespon, menoleh ke arah Sang Putri Kecil.
“Hm?” Sang Pangeran menoleh ke arah Sang Putri Kecil.
“Aku punya pertanyaan!” Sang Putri Tomboy dapat merasakan ke arah mana pembicaraan ini berjalan. Ketika Sang Putri Kecil akan memulai pertanyaannya, Sang Putri Tomboy mencoba berdiri dari kursi kerajaannya dan menghentikan Sang Putri Kecil. Tapi, Sang Putri Tomboy gagal dan Sang Putri Kecil sudah terlanjur bertanya. “Kalau kamu diminta untuk memilih antara Andini dan aku, kamu lebih memilih siapa?” Sang Pangeran terkejut. Tak bisa berucap apa-apa. Kemudian, ia berbalik menanya.
“Me- memilih buat apa!? Yang jelas, dong!” Tanpa ragu, Sang Putri Kecil langsung menjawabnya.
“Memilih untuk dicintai lah!” Sang Putri Tomboy kembali duduk di kursinya dan menutupi wajahnya dengan apa yang bisa ia temukan di dekatnya. Sang Pangeran terhenti dan seolah terlihat sedang berpikir akan sebuah jawaban. Kemudian, setelah agak lama ia bungkam, Sang Pangeran akhirnya memutuskan.
“Gua-...”
“Ya, memilih siapa?”
“Gua lebih milih...”
“Yaaa~?” Sang Pangeran pun membulatkan pilihannya dan menjawab dengan lebih tegas.
“Gua milih-!“




-END-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Telat #4: [Game] 育てて日本人形 / Sodatete Nihon Ningyo (Japanese Doll)

Review Telat #3: [Anime] Death Parade Eps. 12 [Finale]

Review Telat #2: [Anime] Log Horizon 2 Eps. 24