reWRITE [Part 6]


Halo, berjumpa lagi dengan saya, Narator #1. Ah, ini? Tidak, saya tidak apa-apa. Saya tidak banyak tampil di cerpen ini. Setidaknya seharusnya saya membacakan narasi cerita ini, tapi, jiwa anak muda memang semaunya sendiri, ya. Hahaha. Ehem! Ya, pokoknya sekarang saya yang akan membawakan cerita ini. Setidak-tidaknya satu part ini. Saya juga diperbolehkan untuk menarasikan cerita ini dengan satu syarat; gak boleh banyak basa-basi. Setelah saya siuman, saya disambut oleh orang yang mengaku sebagai teman dari pelaku pemukulan saya. Tidak lama kemudian, dia menyampaikan syarat itu ke saya. Awalnya saya ragu, tapi, setelah saya pikirkan kembali, sepertinya tidak ada salahnya mencoba lagi. Ya, kan? Hahaa... (Grrrr-) ha... (rrrrr!!) Ehem! Ka-kalau begitu, kita lanjutkan saja ceritanya.

Sepulang sekolah, Andini yang sudah membuat janji untuk bertemu dengan Melati sedang merapikan dan memasukan buku-bukunya ke dalam tas. Wajahnya terlihat cemas, seakan sedang memikirkan berbagai hal. Dia meresleting tasnya lalu menggigit kuku jempolnya. Lalu dia berkata dalam pikirannya, “Mungkin besok aku harus ngomong sama dia. Ya! Harus! Kalau enggak Melati akan... semua akan percuma.” Tak lama seusainya dia melamun, ada yang mengetuk pintu kelasnya. Spontan, Andini langsung mendengakkan kepalanya ke arah pintu dan di sana dia melihat Melati yang sedang melambai ke arahnya.

“Dini!” Sahut wanita kecil itu ke temannya.
“Ah, iya! Ayo, kita pergi!”
“Ah, tidak usah. Kita meeting di sini saja.”

Andini terkejut. Karna seingatnya kejadian meeting ini tidak seharusnya terjadi di sekitar lingkungan sekolah sama sekali- terlebih lagi di kelasnya. Tanpa memaksa untuk pergi, Andini pun menyutujui untuk tetap di kelas.

“Oke. Tapi gimana kalau nanti kelasnya di kunci, Mel?”
“Kalau begitu, kita buka saja pintunya dan kita duduk di meja yang paling dekat dekat pintu- bukan di pojok sana, Din. Sini, sini!” Ujarnya dengan senyum yang lebar penuh keceriaan.

Melihat senyuman itu, Andini merasa mau tak mau dia harus menurut. Lagi pula dia tidak punya alasan untuk menolak. “Haha. Iya, iya.” Katanya sambil mengangguk. Seketika saat Andini sedang berjalan menuju bangku paling depan di kelasnya untuk menemani Melati duduk, Melati langsung melontarkan pertanyaan yang mengejutkan Andini.

“Kamu memutar waktu, ya, Din?”

Andini yang terkaget secara tak sengaja tersandung oleh kaki meja di dekatnya dan jatuh melukai lututnya.
“Aduh, aduh, aduh!!”
“Din!” Teriak Melati sambil bergerak cepat menuju Andini. “Kamu tidak terluka, kan?” Wajah Melati terlihat khawatir.
“Ahaha gak- aduh! gak ngapa-ngapa, kok, Mel!” Ucap Andini sambil menutupi rasa sakitnya dan bangkit kembali. “Ta-tadi kamu mau nanya apa, Mel?” Tanya Andini mencoba melanjutkan pembicaraan. Melati merasa agak bersalah telah membuat terluka seperti tadi.
“A- Itu... ti-tidak jadi.”

Andini mengerti bahwa kecelakaan kecil tadi telah membuat Melati merasa bersalah. Tapi, tidak bisa dipungkiri juga kalau Andini sebenarnya merasa lega karena Melati tidak mau memperpanjang topik tadi. Tapi, dia tetap agak khawatir karena Melati tahu bahwa dia telah memutar waktu. Andini heran bagaimana caranya dia tahu. Tapi, mustahil juga baginya untuk bertanya langsung pada Melati. Ketika suasana sore itu terasa benar-benar sepi, Melati berusaha mencairkan suasana.

“Eh, rencana kita berhasil! Hahaha.” Melati tersenyum seakan tidak ada yang terjadi. Hal itu membuat  Andini tertegun. “Din?”
“Y-ya? Ah, masa? Dia beneran nolak?”
“Iya! Hehe! Berarti kita tinggal berangkat ke konsernya Sabtu nanti. Hihi” Melati lagi-lagi membuat senyuman seakan-akan ia tidak takut pada apa yang akan terjadi padanya nanti. Tertegun, Andini memandangi Melati dan mengingat kejadian saat temannya itu terbunuh di hadapannya. Tanpa sadar, mata Andini pun berkaca-kaca.
“Din?” Melati berusaha menyadarkan Andini.
“Ah, iya! Ya!” Sambil mengusap matanya dia berusaha untuk terlihat bersemangat dihadapan Melati. “Sabtu! Oke! Aku pasti inget, kok.”
Dengan senyuman yang tidak tulus Melati mengangguk. “Iya.” Katanya. “Kalau begitu sampai di sini saja meeting kita, ya? Ibuku menunggu. Hihi. Ayo, kita pulang!”
“Ayo!” Angguk Andini setuju.

Sepanjang perjalanan pulang mereka diisi oleh suara angin yang berhembus perlahan menyapu rambut mereka. Suasananya sangat hening antara mereka berdua. Tidak seperti biasanya bagi mereka untuk berdiam seperti ini ketika berjalan pulang dari sekolah. Di tengah keheningan itu, lagi-lagi Melati melontarkan pertanyaan yang sama sekali tidak Andini duga.

“Din, sejauh ini, sudah berapa banyak preman pasar yang kamu jinakkan?” Melati bertanya sambil mendengakkan kepalanya melihat ke arah langit. Melihat ini, Andini tak dapat menahannya lagi.
“AHAHA!! Mel, Mel! Kamu nanyain hal kaya gitu dengan mukamu yang datar begitu?”
Melihat temannya tertawa hebat, Melati tersenyum lega. “Habisnya, aku penasaran. Kamu, kan, kalau mainnya bukan denganku pasti dengan om-om berjenggot super tebal itu dan om-om botak itu.”
“Hahaha sembarangan kamu! Enggak. Bukan main! Mereka setoran. Hahaha”
“Haha kasihan tahu. Mereka memalak orang malah kamu palak lagi.”
“Ya, seenggaknya uang hasil palakanku, kan, buat aku balikin ke yang punya. Hehehe”
“Hahaha iya, iya.”

Untuk sesaat setelah candaan mereka selesai, suasana sekitar kembali menjadi tenang. Namun, kali ini, ketenangan ini dapat dinikmati oleh mereka berdua. Ketenangan itu singkat namun terasa lama. Lalu, Melati kembali mencairkan suasana dan memulai pembicaraan dengan Andini.

“Din, kamu itu kuat sekali, ya.”
Terbatah, Andini pun menjawab, “Y-ya, soalnya ayahku juga yang ngajarin aku macem-macem jenis beladiri. Ayahku bilang, karna aku anak tunggal dan perempuan aku harus tau cara ngelindungin diriku sendiri dan orang di sekitarku. Hehehe.”
“Ahaha bukan, bukan. Bukan kuat itu yang ku maksud, Din.”
“Ha-hah? Terus apa?”
“Kamu ingat dulu kita pernah pergi kemah bersama teman satu kelas kita di SMP?”
“Ya.”
“Pada malam kedua kemah, kita berdua tersesat ditengah hutan tanpa ada sumber cahaya sama sekali. Waktu itu aku benar-benar ketakutan. Tapi, melihat aku yang sedang seperti itu, kamu langsung menggenggam tanganku erat-erat sambil berkata, ’Tenang, Mel. Masih ada aku. Ayo, kita cari jalan pulang berdua.’ Haha kamu benar-benar keren waktu itu, Din!”
“A-ah! Udah ah! Malu tau!”
“Hihihi tapi di situ lah kuatnya kamu. Itu kuat yang aku maksud. Hmm... mungkin bukan kuat. Tapi... tegar. Ya! Hihi” Mendengar pujian dari sahabatnya, Andini ragu apakah yang dibilangnya itu benar. Apakah dia benar-benar “tegar”, pikirnya. “Jadi, saat aku tiada nanti, aku mau kamu untuk tetap seperti itu. Ya?”
Tanpa sadar, Andini merespon jawaban tersebut, “Enggak.”
“Hah?” Melati terkejut dengan jawaban cepat Andini.
“Enggak bisa, Mel.”
“Apa ma-“
“Aku enggak mungkin bisa tegar kaya yang kamu bilang. Aku gak mungkin bisa kaya waktu itu kalau menyangkut nyawa kamu.”
“Din?”
“AKU GAK BISA TEGAR KALAU KAMU HARUS NINGGALIN AKU SELAMANYA!” Spontan, Andini berteriak dan tanpa dia sadari, dia mulai meneteskan air mata.
Melati sangat terkejut. Sama sekali dia tidak mengira kalau Andini akan membentaknya seperti itu. Namun, dia cukup mengerti kenapa dia begitu. Kemudian, sambil tersenyum Melati mengangkat tangannya perlahan dan meletakkannya di kepala temannya. Diusaplah kepala Andini. Andini perlahan mengangkat kepala yang ditundukkannya. Melati pun berkata, “Maafkan aku, Din.” sambil ia menahan air matanya. Untuk sesaat Andini pun ikut menahan tangisan, namun tanpa daya, dia pun akhirnya menangis kencang.

Keesokan harinya, Andini memberanikan dirinya untuk berbicara empat mata dengan Guntur mengenai berbagai macam hal yang telah terjadi atau hal yang akan terjadi. Hal tersebut termasuk saat Guntur berdua dengan Andini di rumah Andini membicarakan cara memutar ulang waktu dengan sebuah aplikasi misterius.

“Tolong, percaya, Gun! Kalo enggak, Melati bakal-“
“Lu ngomong apaan, sih? Lu bela-belain dateng ke rumah gue cuma buat nyeritain cerita gak jelas begitu?”
“Gun! Tolong, percaya sama aku! Aku enggak boong!”

Guntur berdiri dari duduknya dan menyuruh Andini untuk pergi meninggalkan rumahnya. Andini, dengan rasa kecewa karna merasa bahwa dia akan gagal kali keduanya untuk melindungi Melati, akhirnya keluar dari rumah Guntur. Kemudian dia melamun. “Cih! Aku tidak perlu bergantung sama dia! Aku sendiri yang akan menyelamatkan Melati nanti! Kau akan berterima kasih padaku nanti, Guntur! Liat saja!” Pikirnya. Kemudian, hari itu pun tiba.

“Mel, kalau kamu tidak meninggal di sini, apa yang akan terjadi?”
“Hm?”
“Maksudku, sekarang Guntur, kan, lagi ada di rumahnya. Kalau kamu gak meninggal, kayanya dia juga gak mungkin meninggal. Karna di rumahnya dia pasti aman. Ya, kan?”
“Hmm... dengar, ya, Andini-yang-telah-memutar-waktu.”
“HAH!? Gimana kamu bisa-“ Andini terkejut.
“Hahaha Sudah jelas sejak pertama kamu melihatku dari tangga rumahmu kalau kamu telah memutar waktu. Kau menggunakan itu, kan?”
“Eh... hm.” Angguk Andini setuju.
“Soal Guntur akan meninggal atau tidak jika aku tidak meninggal sekarang... jika bukan aku yang meninggal, sudah dipastikan dia yang akan meninggal.”
“Dipastikan?”
“Kematian tidak bisa ditiadakan, Din. Kematian hanya bisa dibayar dengan kematian lainnya. Jadi jika bukan aku yang nanti meninggal, karena aku tidak bisa membayar kematian Guntur, Guntur akan tetap meninggal.”
“Tapi, kenapa!? Kenapa kamu yang harus membayar kematiannya!?”

Setelah pertanyaan itu Andini lontarkan pada Melati, suasana sepi di pagi hari yang sejuk itu menjadi semakin sepi. Kemudian Melati menjawab pertanyaan itu dengan suara yang pelan namun tegas.

“Karena aku sayang dia.”

Andini terkejut. Dia tidak mengerti kenapa dia harus terkejut. Sudah jelas baginya bahwa Melati sangat dekat dengan Guntur. Jadi, jawaban seperti itu seharusnya tidak menjadi masalah baginya. Namun karena jawaban itu, Andini merasakan suatu emosi di dalam dadanya yang sebelumnya belum pernah ia rasakan.

Akhirnya tanpa meleset sedetikpun, telpon dari Guntur di terima Melati sesuai dengan rencana. Andini diam terpaku mendengarkan percakapan terakhir mereka untuk kedua kalinya dan saat Melati hampir menyelesaikan percakapannya dengan Guntur di telepon Andini berbisik pada dirinya sendiri dengan sebuah senyuman, “Kalian harus lebih banyak lagi ngabisin waktu berduaan.” Melati tidak sengaja mendengar bisikan itu dan dengan reflek menoleh ke arah Andini. Andini dengan keyakinan sempurna di matanya melangkah maju dan menarik Melati mundur dengan memegang bahunya. Sekarang Andini berada ada di posisi di mana Melati seharusnya. Dan dengan kecepatan luar biasa, sebuah truk datang menghampiri Andini.

“Dini?” Melati sama sekali tak berkutik ketika terhempas mundur oleh tarikan Andini.

“Tenang. Kali ini, aku yang traktir kalian berdua.”

Selanjutnya >>

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Telat #4: [Game] 育てて日本人形 / Sodatete Nihon Ningyo (Japanese Doll)

Review Telat #3: [Anime] Death Parade Eps. 12 [Finale]

Sekarang Hari Apa?!